Senin, Maret 03, 2008

Mantu "Korban" Mertua

Sementara orang lain pada mau korban sapi dan kambing, Ngasrun, 27, harus korban perasaan atas sikap mertua dan istrinya. Betapa tidak? Ketika Sumini, 23, istrinya mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama, mertuanya bukan melarang justru mendukungnya. Kesal sekali Ngasrun, sehingga dia mengerahkan dua temannya untuk menakut-nakuti ayah mertua dan istri dengan tiga pedang terhunus. Kalau perlu mereka dibuat “korban” sajalah.
Aduh-aduh, nekad banget Ngasrun sebagai menantu. Sebagai menantu yang baik, mestinya mengirim singkong goreng buat teman minum kopi, lha kok malah mengirim pedang. Padahal mertualah yang telah berjasa pada mantu, sehingga di malam hari tak perlu terkena pendinginan global. Tanpa mertua, kaum lelaki pastilah ngulat-ngulet di pagi hari, karena ketiadaan medan untuk menunjukkan hakekatnya sebagai lelaki. “Ya justru karena itu saya bawakan pedang,” ujar Ngasrun di kantor polisi Pekalongan, kesal.
Pokok kemelut rumahtangga Ngasrun memang soal ekonomi. Sudah jadi suami Sumini selama 3 tahun, tapi lelaki dari Desa Kradenan Kecamatan Pekalongan Selatan ini masih saja jadi penganggur. Padahal semula Sumini mau dikawini Ngasrun dengan harapan suaminya segera dapat pekerjaan. Lha kok tidak. Tiga tahun berkeluarga, ya tiga tahun pula tidak punya pekerjaan. Paling ironis, kerja tidak mau, “ngerjain” bini hobi banget! Istrinya sudah berulangkali mendesak Ngasrun agar mencari terobosan ekonomi, jadi makelar kek, jadi tukang panggul barang di pasar kek, yang penting halal. Tapi sang suami tetap lebih senang berpangku tangan di rumah. Alasannya mencari pekerjaan tidak mudah, apa lagi hanya berijasah SMA. Jaman sekarang harus punya koneksi, sedang Ngasrun mengakui kurang luas pergaulannya. “Lha iya, sampeyan kurang bergaul, tahunya hanya menggauli istri…,” sergah Sumini lagi.
Yang paling menyakitkan Sumini pada lembah hatinya paling dalam, sudah pengangguran tapi Ngasrun masih doyan pacaran lagi, bila tak mau disebut selingkuh. Banyak saksi mengatakan bahwa di luaran suaminya masih menggandeng perempuan lain lagi. Bagaimana hati Sumini tidaklah sakit? Sementara di rumah Ngasrun hidup dalam tanggungan mertua, kok di luar malah gandeng kunca (akrab) dengan wanita lain. Begitu tega dia menyakiti dan mengkhianati istrinya. Ini suami cap apa?
Akhirnya Sumini berketetapan bulat, menggugat cerai suaminya ke Pengadilan Agama Pekalongan. Kaget sekali Ngasrun mendengar kabar itu. Dia lalu mengadu sekaligus curhat pada mertuanya, atas langkah tidak populer istrinya tersebut. Tapi boro-boro sang mertua empati dan simpati padanya, justru dia mendukung tindakan putrinya bahwa itu sebagai tindakan bijak. “Anggota DPR saja kalau tidak vokal juga tak dicalonkan lagi …,” kata mertuanya garang.
Ngasrun terpaksa pulang ke rumah, meninggalkan istrinya di kompleks mertua indah kampung Pasirsari, Kecamatan Pekalongan Barat. Sejak itu hidupnya jadi kesepian, terkena pendinginan global, karena jauh dari istrinya. Bila dia datang ke rumah mertua, Sumini tak mau menemui apa lagi meladeni. Pusing multidimenasi lah kepala Ngasrun. Jengkel sekali dia pada mertuanya, kenapa anak mau cerai kok malah disponsori? Sedangkan Nabi saja bersabda: cerai adalah tindakan halal yang sangat dibenci Allah!
Karena biangkeroknya adalah mertua sendiri, Ngasrun ingin memberi pelajaran padanya, termasuk istrinya sekaligus. Dengan mengajak dua temannya, dia membawa parang di masing-masing tangan untuk menakut-nakuti bapak dan anak. Begitu tiba langsung mertuanya ditelikung dan diamang-amangi pedang, begitu juga Sumini. Tapi sebelum pedang menebas leher, istri Ngasrun berteriak sehingga warga berdatangan. Mantu kurang ajar tersebut segera dibekuk warga bersama dua temannya. “Nggak, kami hanya ingin menakut-nakuti mereka agar mengurungkan gugatan cerainya,” kata Ngasrun di Polsek Pekalongan Barat.
----------------------Jangan Kau Pergi, Pratiwi
Sebagai suami Gandung, 40 tahun, benar-benar merasa dicampakkan di lembah yang paling dalam. Ketika masih jaya, Pratiwi, 37 tahun, begitu mencintai dirinya. Tapi setelah jatuh bangkrut dan hanya jadi pengojek, sang istri tak tahan dalam kemiskinan. Diam-diam Gandung ditinggalkan dan Pratiwi kawin lagi dengan pria idaman barunya. Tak tahan mengalami penderitaan multidimensi, pengojek malang itu memilih mati minum racun serangga.
Ekonomi yang mapan sedari dulu memang sangat menopang stabilitas rumahtangga. Boleh saja orang mengklaim cintanya pada pasangan setinggi gunung mahameru. Tapi ketika beras saja harus nempur (membeli), mulailah cintanya luntur. Sebab fakta memang membuktikan, cinta tak bisa dinikmati dengan perut kosong. Pendek kata, tak ada ceritanya wanita mau hanya dijamin urusan di bawah perut, mana kala perut itu sendiri keroncongan mendendangkan lagu Ratapan Si Cacing.
Dalam kehidupan nyata, kisah keluarga Gandung – Pratiwi dari Depok ini bolehlah diambil contoh. Ketika si suami masih menjadi pegawai pada sebuah perusahaan mapan, rumahtangga mereka boleh dikata tata tentrem kerta raharja sebagaimana kata dalang. Tiap hari Minggu Pratiwi bisa mengajak tiga anaknya shoping, makan-makan di luar. Sembako distok sampai sebulan, kulkas penuh berisi aneka buah-buahan, minuman dan makanan, termasuk kerupuk!
Akan tetapi zaman keemasan Gandung tak berlangsung lama. Ketika perusahaannya kolaps disusul dengan PHK, sinetron kehidupan “sandyakalaning Gandung” mulai diputar. Ekonominya berangsur surut, sedangkan pekerjaan baru tak juga diperoleh. Walhasil, dalam tempo 5 tahunan apa yang jadi miliknya Gandung semuanya amblas. Rumah dan kendaraan lepas. Kini mereka tinggal di rumah kontrakan, dengan asset miliknya tinggal berupa istri dan ketiga anaknya tersebut.
Ngomel dan menangis kini menjadi kehidupan sehari-hari Pratiwi. Maklum, penghasilan Gandung sebagai pengojek, sangat tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari. Sedangkan istrinya bukanlah tipe wanita yang tahan derita. Sekarang boro-boro keluar masuk mall dan rumah makan seperti dulu, masuk warteg saja Gandung – Pratiwi tidaklah berani. Bisa makan dengan sayur kencing kudak (baca: sayur asem) saja sudah bagus. Lauknya juga hanya kerupuk yang dulu suka disimpan-simpan di kulkas itu.
Gandung sekarang sangat kenyang dengan omelan bini. Ketika masih jaya dulu, tak adalah omelan itu, karena yang ada hanyalah “towelan” ajakan ke ranjang. Sekarang, yang terakhir itu selalu puso, sebab Pratiwi sudah males melayani apa yang menjadi hak suami. “Aku tak sanggup hidup begini terus, Mas. Jangan nyesel ya kalau nanti saya tinggalkan,” ancam Pratiwi beberapa bulan lalu.
Untuk saat itu Gandung menganggap ucapan itu sekedar gertak sambal saja. Apa lagi bininya sudah tua, pantat dan payudara sudah bergeser sekian drajat dari garis ekuator. Jadi, tanpa daya tarik keduanya itu, manalah lelaki lain ada yang mau? Makanya Gandung tetap santai-santai saja, sama persis dengan para menteri yang lolos dari resufle terbatas pada kabinetnya Presiden SBY.
Rupanya Gandung salah perhitungan. Ternyata Pratiwi ibaratnya mutiara dalam lumpur. Begitu tak diurus suami, diam-diam istrinya itu berkemas diri, menebar pesona. Dan ternyata, kendati pantat dan payudara sudah lari dari garis ekuatornya, berkat kecantikannya, masih juga ada yang mendambakan cintanya. Nah, begitu ada lelaki yang cocok, langsung saja Pratiwi minta cerai pada suami. “Jangan kau pergi Pratiwi,” begitu ratap Gandung di Pengadilan Agama, tapi semuanya sudah terlambat.
Untuk selanjutnya Gandung harus menjalani hari-harinya yang sepi itu bersama tiga anaknya, di rumah kontrakan Pondok Terong, Kecamatan Pancoran Mas, Kotif Depok. Dia kini baru merasakan, tanpa istri di samping dan bawahnya, sungguh pusing tujuh keliling. Masak-memasak harus dikerjakan sendiri, begitu juga soal kebersihan pakaian, harus seperti Rinso-nya Krisbiantoro dulu: mencuci sendiri! Sungguh nelangsa kehidupan Gandung kini.
Ternyata Gandung bukan lelaki tahan banting. Didera kemiskinan dan kesepian berminggu-minggu, dia limbung dan lupa akan rahmatnya Allah yang tak pernah putus itu. Melihat racun serangga, sepertinya ketemu es soda gembira saja. Racun mematikan itu ditenggaknya, dan wasalamlah Gandung dari muka bumi. Tinggalah anak-anaknya yang meratapi, dengan siapa harus menjalani kehidupan berat ini? Bapak masuk kubur, ibu dengan kekasih barunya sedang syurrrr.

Tidak ada komentar: